Asal Usul
Pulau Gapi (kini
Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal merupakan warga
eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing -
masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang
pertama – tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala
penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan
bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas
perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para
perompak maka atas prakarsa momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah
untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang
pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 momole
Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja)
pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi
berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar
dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung
besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan
populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka
mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa
generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang
hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan
terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Organisasi kerajaan
Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin
tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha
sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan
yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada
masa lalu, masing – masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara
lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat
tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak
memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada
jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua
Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji dll.
daftar kesultanan ternate adalah sebagai berikut:
Kolano dan Sultan Ternate
|
Masa jabatan
|
Baab Mashur Malamo
|
1257 - 1277
|
Jamin Qadrat
|
1277 - 1284
|
Komala Abu Said
|
1284 - 1298
|
Bakuku (Kalabata)
|
1298 - 1304
|
Ngara Malamo (Komala)
|
1304 - 1317
|
Patsaranga Malamo
|
1317 - 1322
|
Cili Aiya (Sidang Arif Malamo)
|
1322 - 1331
|
Panji Malamo
|
1331 - 1332
|
Syah Alam
|
1332 - 1343
|
Tulu Malamo
|
1343 - 1347
|
Kie Mabiji (Abu Hayat I)
|
1347 - 1350
|
Ngolo Macahaya
|
1350 - 1357
|
Momole
|
1357 - 1359
|
Gapi Malamo I
|
1359 - 1372
|
Gapi Baguna I
|
1372 - 1377
|
Komala Pulu
|
1377 - 1432
|
Marhum (Gapi Baguna II)
|
1432 - 1486
|
Zainal Abidin
|
1486 - 1500
|
Bayanullah
|
1500 - 1522
|
1522 - 1529
|
|
1529 - 1533
|
|
1533 - 1534
|
|
1535 - 1570
|
|
1570 - 1583
|
|
Said Barakat syah
|
1583 - 1606
|
Mudaffar Syah I
|
1607 - 1627
|
Hamzah
|
1627 - 1648
|
Mandarsyah
|
1648 - 1650 (masa pertama)
|
Manila
|
1650 - 1655
|
Mandarsyah
|
1655 - 1675 (masa kedua)
|
Sibori
|
1675 - 1689
|
Said Fatahullah
|
1689 - 1714
|
Amir Iskandar Zulkarnain
Syaifuddin
|
1714 - 1751
|
Ayan Syah
|
1751 - 1754
|
Syah Mardan
|
1755 - 1763
|
Jalaluddin
|
1763 - 1774
|
Harunsyah
|
1774 - 1781
|
Achral
|
1781 - 1796
|
Muhammad Yasin
|
1796 - 1801
|
Muhammad Ali
|
1807 - 1821
|
Muhammad Sarmoli
|
1821 - 1823
|
Muhammad Zain
|
1823 - 1859
|
Muhammad Arsyad
|
1859 - 1876
|
Ayanhar
|
1879 - 1900
|
Muhammad Ilham (Kolano Ara Rimoi)
|
1900 - 1902
|
Haji Muhammad Usman syah
|
1902 - 1915
|
Iskandar Muhammad Jabir syah
|
1929 - 1975
|
1975 – sekarang
|
Moloku Kie Raha
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda. Kerajaan – kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga memicu terjadinya perang. Demi menghentikan konflik yang berlarut – larut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja – raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).Kedatangan Islam
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih).
Kedatangan Portugal dan perang saudara
Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata – mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris - pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India. Disana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).Pengusiran Portugal
Perlakuan Portugal terhadap saudara – saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak – tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada sultan Khairun. Secara licik Gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh Sultan yang datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya tahun 1575. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama putera-putera nusantara atas kekuatan barat. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda, Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indonesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme barat.
Kedatangan Belanda
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila. Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah pangeran Hidayat (15?? - 1624), Raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah – rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
Perlawanan rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan – sultan Ternate semakin kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.- Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
- Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan Kalumata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara pangeran Kalumata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran Kalumata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam pengasingan.
- Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda yang semena - mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.
Warisan Ternate
Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki peran yang besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti. Keberhasilan rakyat Ternate dibawah sultan Baabullah dalam mengusir Portugal tahun 1575 merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya almarhum Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa Austronesia dan Non Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu – Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda – beda. Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 yang saat ini masih tersimpan di museum Lisabon – Portugal.
Berdasarkan penjelasan diatas,
disebutkan bahwa Agama Islam di wilayah Kesultanan Tidore setelah Sultan ke
sembilan memimpin. Namun, menurut Irham Rosyidi pendapat ini masih dapat
diperdebat. Jika penjelasan diatas benar, mengapa raja/Kolano pertama
Kesultanan Tidore bernama Syahjati alias Muhammad Nakel, bukankah nama tersebut
mengindikasi pengaruh agama Islam?. Berpijak pada nama tersebut maka
bakap Irham Rosyidi berpendapat bahwa agama Islam masuk wilayah Kesultanan
Tidore diduga kuat sejak raja/Kolano pertama pada tahun 1108 M.
Sejak tahun 1906 sampai 1946
(selama 40 tahun) Kesultanan Tidore tidak mempunyai Sultan. Kevakuman
pemerintah Kesultanan Tidore disebabkan oleh pemerintah kolonial Belanda yang
tidak senang jika Kesultanan Tidore aktif secara berkesinambungan. Sultan
Tidore dan para bobatonya dikenal Belanda sebagai suatu pemerintah yang sulit
dikendalikan dan tidak bisa diajak kerja sama. Sikap konsisten yang anti
terhadap kolonial Belanda tersebut membuat pemerintah Republik Indonesia
memberi gelar pahlawan nasional kepada Sultan ke-22, yaitu Sultan Syaedul
Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mabus Kaicil Paparangan Jou
Barakati alias Nuku, yang memerintah 1797-1805 M.
Pada tanggal 14 Desember 1946
pemerintah Kesultanan Tidore diaktifkan kembali dengan dilantiknya Zainal
Abidin Syah sebagai Sultan Tidore ke-29. Sultan Zainal Abidin Syah dilantik di
Denpasar Bali pada tanggal 14 Desember 1946, selanjutnya disusul dengan
penobatan secara adat Kerajaan Tidore pada tanggal 27 Pebruari 1947 di Limau
Timore, Soasio.
Kerajaan tidore
Tidore merupakan salah satu pulau yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku. Sebelum Islam datang ke bumi nusantara, Tidore dikenal dengan nama Kie Duko, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api –bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku– yang mereka namakan gunung Marijang. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan dua rangkaian kata bahasa Tidore dan Arab dialek Irak: bahasa Tidore, To ado re, artinya, ‘aku telah sampai’ dan bahasa Arab dialek Irak anta thadore yang berarti ‘kamu datang’. Penggabungan dua rangkaian kata dari dua bahasa ini bermula dari suatu peristiwa yang terjadi di Tidore.
Menurut kisahnya, di daerah Tidore ini sering terjadi pertikaian antar para Momole (kepala suku), yang didukung oleh anggota komunitasnya masing-masing dalam memperebutkan wilayah kekuasaan persukuan. Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan pertumpahan darah. Usaha untuk mengatasi pertikaian tersebut selalu mengalami kegagalan.
Suatu ketika, diperkirakan tahun 846 M, rombongan Ibnu Chardazabah, utusan Khalifah al-Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di Tidore. Pada saat itu, di Tidore sedang terjadi pertikaian antar momole. Untuk meredakan dan menyelesaikan pertikaian tersebut, salah seorang anggota rombongan Ibnu Chardazabah, bernama Syech Yakub turun tangan dengan memfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo. Pertemuan disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang. Kesepakatannya, momole yang tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan menjadi pemenang dan memimpin pertemuan. Dalam peristiwa itu, setiap momole yang sampai ke lokasi pertemuan selalu meneriakkan To ado re, karena merasa dialah yang datang pertama kali dan menjadi pemenang. Namun, ternyata beberapa orang momole yang bertikai tersebut tiba pada saat yang sama, sehingga tidak ada yang kalah dan menang. Berselang beberapa saat kemudian, Syech Yakub yang menjadi fasilitator juga tiba di lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: Anta thadore. Karena para momole datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi pemenang, akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin adalah Syech Yakub. Konon, sejak saat itu mulai dikenal kata Tidore, kombinasi dari dua kata: Ta ado re dan Thadore. Demikianlah, kata Tidore akhirnya menggantikan kata Kie Duko dan menjadi nama sebuah kerajaan besar.
Menurut catatan Kesultanan Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati naik tahta pada 12 Rabiul Awal 502 H (1108 M). Namun, sumber tersebut tidak menjelaskan secara jelas lokasi pusat kerajaan pada saat itu. Asal usul Sahjati bisa dirunut dari kisah kedatangan Djafar Noh dari negeri Maghribi di Tidore. Noh kemudian mempersunting seorang gadis setempat, bernama Siti Nursafa. Dari perkawinan tersebut, lahir empat orang putra dan empat orang putri. Empat putra tersebut adalah: Sahjati, pendiri kerajaan Tidore; Darajati, pendiri kesultanan Moti; Kaicil Buka, pendiri kesultanan Makian; Bab Mansur Malamo, pendiri kesultanan Ternate. Sedangkan empat orang putri adalah: Boki Saharnawi, yang menurunkan raja-raja Banggai; Boki Sadarnawi, yang menurunkan raja-raja Tobungku; Boki Sagarnawi, yang menurunkan raja-raja Loloda; dan Boki Cita Dewi, yang menurunkan Marsaoli dan Mardike. Kerajaan Tidore merupakan salah satu pilar yang membentuk Kie Raha, yang lainnya adalah Ternate, Makian dan Moti.
Berdasarkan legenda asal usul di atas, tampak bahwa empat kerajaan ini berasal dari moyang yang sama: Djafar Noh dan Siti Nursafa. Terlepas dari benar atau salah, kemunculan dan perkembangan legenda asal-usul tersebut secara jelas menunjukkan adanya kesadaran persaudaraan di antara kerajaan Kie Raha (gabungan empat kerajaan utama di Maluku Utara, yaitu: Ternate, Tidore, Makian dan Moti) sehingga mereka kemudian melegitimasinya dengan sebuah mitos asal-usul.
Sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Bunga Mabunga Balibung, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan dimana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Tomabanga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saifudin (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soasio hingga saat ini.
Pada abad ke 16 M, orang Portugis dan Spanyol datang ke Maluku –termasuk Tidore– untuk mencari rempah-rempah, momonopoli perdagangan kemudian menguasai dan menjajah negeri kepulauan tersebut. Dalam usaha untuk mempertahankan diri, telah terjadi beberapa kali pertempuran antara kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan kolonial Portugis dan Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo bersekutu sehingga kolonial Eropa tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukkan Tidore dan kerajaan lainnya.
Sepeninggal Portugis, datang Belanda ke Tidore dengan tujuan yang sama: memonopoli dan menguasai Tidore demi keuntungan Belanda sendiri. Dalam sejarah perjuangan di Tidore, sultan yang dikenal paling gigih dan sukses melawan Belanda adalah Sultan Nuku (1738-1805 M). Selama bertahun-tahun, ia berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh kepulauan Maluku, termasuk Ternate, Bacan dan Jailolo. Perjuangan tersebut membuahkan hasil dengan menyerahnya Belanda pada Sultan Nuku pada 21 Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo kembali merdeka dari kekuasaan asing. Inggris yang juga ikut membantu Tidore dalam mengusir Belanda kemudian diberi kebebasan untuk menguasai Ambon dan Banda, dan mengadakan perjanjian damai dengan Sultan Nuku, sehingga relasi antara kedua belah pihak berjalan cukup harmonis. Di masa Sultan Nuku inilah, Tidore mencapai masa kegemilangan dan menjadi kerajaan besar yang disegani di seluruh kawasan itu, termasuk oleh kolonial Eropa. Di masa Sultan Nuku juga, kekuasaan Tidore sampai ke Kepulauan Pasifik. Menurut catatan sejarah Tidore, Sultan Nuku sendiri yang datang dan memberi nama pulau-pulau yang ia kuasai, dari Mikronesia hingga Melanesia dan Kepulauan Solomon. Nama-nama pulau yang masih memakai nama Nuku hingga saat ini adalah Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau, Nuku Lae-lae, Nuku Fetau dan Nuku Nono.
Seiring dengan masuknya kolonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke Tidore. Namun, karena pengaruh Islam yang sudah begitu mengakar, maka agama ini tidak berhasil mengembangkan pengaruhnya di Tidore.
2. Silsilah
Dari sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah berkuasa 38 orang sultan di Tidore. Saat ini, yang berkuasa adalah Sultan Hi. Djafar Syah. (nama dan silsilah para sultan lainnya, dari awal hingga yang ke-37 masih dalam proses pengumpulan data). Silsilah Kesultanan Tidore
Susunan Kolano (Raja atau Sultan)
yang pernah memerintah Kerajaan Tidore sebelum masuknya agama Islam sebagai
berikut :
1. Kolano Syahjati alias Muhammad
Nakel
2. Kolano Bosamawango
3. Kolano Suhud aluas Subu
4. Kolano Balibunga
5. Kolano Duko Madoya
6. Kolano Kie Matiti
7. Kolano Seli
8. Kolano Matagena
2. Kolano Bosamawango
3. Kolano Suhud aluas Subu
4. Kolano Balibunga
5. Kolano Duko Madoya
6. Kolano Kie Matiti
7. Kolano Seli
8. Kolano Matagena
Setelah agama Islam masuk ke
wilayah Maluku Utara pada awal abad ke-11 tepatnya pada tahun 470 H atau 1077
M, yang ditandai dengan kedatangan seorang ulama dari Arab yang bernama Ja’far
Shadiq. Mulai saat itu gelar Kolano (Raja) berubah menjadi Sultan. Susunan para
Sultan yang pernah memimpin Kesultanan Tidore sebagai berikut :
2. Sultan Hasan Syah, mulai 1372-1405 M
3. Sultan Cirililiat alis Jamluddin, mulai 1405-1512 M
4. Sultan Mansyur, mulai 1512-1526 M
5. Sultan Aminuddin Iskandar Zulkarnain, mulai 1526-1535 M
6. Sultan Rijali Mansur, mulai 1535-1569 M
7. Sultan Iskandar Isani alias Amiril Mathlan Syah, mulai 1569-1568 M
8. Sultan Gapi Baguna alias Bifadlil Siradjuddin Arifin, mulai 1568-1600 M
9. Sultan Fola Madjino alias Zainuddin, mulai 1600-1626 M
10. Sultan Ngora Malamo alias Alaudin, mulai 1626-1631 M
11. Sultan Gorontalo alias Saifuddin, mulai 1631-1642 M
12. Sultan Saidi, mulai 1642-1653 M
13. Sultan Mole Manginyau alias Malikidin, mulai 1653-1657 M
14. Sultan Saifuddin alias Djuo Kota, mulai 1657-1674 M
15. Sultan Hamzah Fahruddin, mulai 1674-1705 M
16. Sultan Abdul Fadhlil Masyur, mulai 1705-1708 M
17. Sultan Hasanuddin Kaicil Garcia, mulai 1708-1728 M
18. Sultan Amir Bifodlil Aziz Muhidin Malikul Manan, mulai 1728-1757 M
19. Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin, mulai 1757-1779 M
20. Sultan Patra Alam, mulai 1780-1783 M
21. Sultan Hairul Alam Kamaludin Asgar, mulai 1784-1797 M
22. Sultan Amiruddin Syaifuddin
Syah Muhammad El Mabus Kaicil Paparangan Jou Barakatai alias NUKU, mulai 1797-1805
M
23. Sultan Zainal Abidin, mulai 1805-1810 M
24. Sultan Motahuddin Mohammad Tahir, mulai 1810-1821 M
25. Sultan Ahmadul Mansur Sirajuddin Syah, mulai 1821-1856 M
26. Sultan Ahmad Syaifuddin Alting, mulai 1856-1892 M
27. Sultan Ahmad Fatahuddin Nur Syah Kaicil Jauhar alam, mulai 1892-1894 M
28. Sultan Ahmad Kawiyuddin Alting, mulai 1894-1906 M
29. Sultan Zainal Abidin Sjah, mulai 1947-1967 M
30. Sultan Hi. Jafar Syah, Mulai 1999-Sekarang.
23. Sultan Zainal Abidin, mulai 1805-1810 M
24. Sultan Motahuddin Mohammad Tahir, mulai 1810-1821 M
25. Sultan Ahmadul Mansur Sirajuddin Syah, mulai 1821-1856 M
26. Sultan Ahmad Syaifuddin Alting, mulai 1856-1892 M
27. Sultan Ahmad Fatahuddin Nur Syah Kaicil Jauhar alam, mulai 1892-1894 M
28. Sultan Ahmad Kawiyuddin Alting, mulai 1894-1906 M
29. Sultan Zainal Abidin Sjah, mulai 1947-1967 M
30. Sultan Hi. Jafar Syah, Mulai 1999-Sekarang.
3. Periode Pemerintahan
Kerajaan Tidore berdiri sejak 1108 M dan berdiri sebagai kerajaan merdeka hingga akhir abad ke-18 M. setelah itu, kerajaan Tidore berada dalam kekuasaan kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, Tidore menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
4. Wilayah Kekuasaan
Pada masa kejayaannya, wilayah kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas hingga mencapai Kepulauan Pasifik. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram. Di Kepulauan Pasifik, kekuasaan Tidore mencakup Mikronesia, Kepulauan Marianas, Marshal, Ngulu, Kepulauan Kapita Gamrange, Melanesia, Kepulauan Solomon dan beberapa pulau yang masih menggunakan identitas Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku Oro, Nuku Maboro dan Nuku Nau. Wilayah lainnya yang termasuk dalam kekuasaan Tidore adalah Haiti dan Kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan Nuku Nono.
5. Struktur Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Tidore cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi kekuasaan berada di tangan sultan. Menariknya, Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara. Seleksi sultan dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi sultan.
Ketika Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah berjalan dengan baik. Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore disebut Syara, adat se nakudi. Dewan ini dipimpin oleh sultan dan pelaksana tugasnya diserahkan kepada Joujau (perdana menteri). Anggota Dewan wazir terdiri dari Bobato pehak raha (empat pihak bobato; semcam departemen) dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah: (1) pehak labe, semacam departemen agama yang membidangi masalah syariah. Anggota pehak labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modim; (2) pehak adat bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau (panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio (menteri urusan dalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet); (3) Pehak Kompania (bidang pertahanan keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor dan Kapita Ngofa; (4) pehak juru tulis yang dipimpin oleh seorang berpangkat Tullamo (sekretaris kerajaan). Di bawahnya ada Sadaha (kepala rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler kerajaan bidang kerohanian), Sowohi Cina (protokoler khusus urusan orang Cina), Fomanyira Ngare (public relation kesultanan) dan Syahbandar (urusan administrasi pelayaran). Selain struktur di atas, masih ada jabatan lain yang membantu menjalankan tugas pemerintahan, seperti Gonone yang membidangi intelijen dan Serang oli yang membidangi urusan propaganda.
6. Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat di Kesultanan Tidore merupakan penganut agama Islam yang taat, dan Tidore sendiri telah menjadi pusat pengembangan agama Islam di kawasan kepulauan timur Indonesia sejak dulu kala. Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para ulama memiliki status dan peran yang penting di masyarakat. Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka: Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah (Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini
Berkenaan dengan garis kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun, tampaknya terjadi perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di Tidore. Klen patrilineal yang terpenting mereka sebut soa. Dalam sistem adat Tidore, perkawinan ideal adalah perkawinan antar saudara sepupu (kufu). Setelah pernikahan, setiap pasangan baru bebas memilih lokasi tempat tinggal, apakah di lingkungan kerabat suami atau istri. Dalam antropologi sering disebut dengan utrolokal.
Dalam usaha untuk menjaga keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis upacara adat. Di antara upacara tersebut adalah upacara Legu Gam Adat Negeri, upacara Lufu Kie daera se Toloku (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara Ngam Fugo, Dola Gumi, Joko Hale dan sebagainya.
Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam rumpun non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan sastra lisan dan tulisan. Bentuk satra lisan yang populer adalah dola bololo (semacam peribahasa atau pantun kilat), dalil tifa (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau gendang), kabata (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal dsb). Sebagian di antara satra lisan ini disampaikan dan dipertunjukkan dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sasra tulisan juga cukup baik berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari peninggalan manuskrip kesultanan Tidore yang masih tersimpan di Museun Nasional Jakarta. Dan boleh jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan masyarakat secara individual.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang bercocok tanam di ladang. Tanaman yang banyak ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu, juga banyak ditanam cengkeh, pala dan kelapa. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore terkenal, dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan Arab, dan akhirnya menjadi rebutan para kolonial kulit putih.
(TEMAN-TEMAN TULISAN INI ADALAH TUGAS SEKOLAH, INI DI DAPAT DARI BERBAGAI SUMBER DAN SAYA MERANGKUMNYA AGAR DAPAT MEMUDAHKAN PELAJAR SEPERTI SAYA :) )
ini link nya teman-teman :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Ternate
http://bondanpradipta.blogspot.com/2014/03/kerajaan-ternate-dan-tidore.html
mantap,,,,,,,,membangun kembali sejarah PAJI,,,
BalasHapusNice info, thanx udah bantu untuk Presentasi
BalasHapusRactorgamers.blogspot.com
thanks banget ya dh bantuin ngerjain tugas..:)
BalasHapusMaksih atas artikelnya....sangat membantu..
BalasHapus..
Mantap. Kembangkan Kreativitsnya. Semoga tambah sukses
BalasHapusartikel nya bagus, tapi maaf ya ..lebih bagus lagi artikelnya punya sendiri bukan Copas / Copy Paste, kalu memang hasil copas tolong cantumkan sumber nya....Hargailah karya orang lain terima kasih
BalasHapussaya tambah sedikit mengenai Dja'far Noh. dari kami orang banggai Dja'far Noh ialah raja banggai ya memang sengaja ke tidore untuk mendirikan suatu kerajaan islam sebab sebelumnya kerajaan banggai telah berdiri lebih dulu menjadi kerajaan islam yaitu di awal abad ke VII melalui Adi Saka dan Dja'far Noh adalah keturunan Raja Adi Saka, dari sejarah tutur leluhur kami Dja'far Noh memang menikah dengan seorang putri tidore yg bernama Siti Nursafa,.
BalasHapusmungkin ini bisa dibaca: http://cooljalil.blogspot.com/2014_04_01_archive.html
BalasHapussejarah aslix pulau TIDORE tidaklah sprti itu.kl mnrt crt sejarah di atas haxalah ctr dongngeng atau crt RAKYAT
BalasHapus